… hanyalah secarik kain yang
kadang oleh sebagian orang dianggap tabu atau bahkan kolot bagi orang yang
memakainya. Namun ada juga yang mempertahankannya dengan tambahan aksesoris
atau perubahan di sana-sini agar terlihat modis dan sesuai dengan trend fesyen
saat ini.
Kain penutup kepala itu biasa
lebih dikenal dengan istilah kerudung atau jilbab. Keberadaanya selalu menjadi
bahan perhatian dan perdebatan di setiap kalangan. Karena memang ia adalah
salah satu hal yang dapat menjadikan penampilan seorang wanita menjadi lebih
anggun dan istimewa. Terlepas dari sudut pandang dari orang yang tidak
menyukainya. Namun, tetap saja kerudung mempunyai nilai lebih bila tergerai di
mahkota sang dara.
Keberadaan jilbab atau
kerudung bukanlah berasal dari ciri dan corak berpakaian bangsa Arab dahulu
kala. Karena bangsa Arab (Jahiliyyah) dahulu belum mengenal adanya kain penutup
kepala seperti sekarang atau dikenal dengan jilbab. Mereka dahulu lebih suka
membuka aurat dan memamerkan kecantikannya di khalayak umum. Seperti yang di
singgung oleh Allah dalam Al-Qur’an ketika memerintahkan wanita-wanita Muhajirin dan Anshar untuk menutup kepala dan
wajah-wajah mereka. Jadi , lucu jika ada orang yang mengatakan atau berpendapat
jilbab itu adalah pakaian adat bangsa arab.
Bahkan lebih jauh dari itu
mereka beranggapan bahwa dengan menggunakan jilbab berarti telah
mendiskriminasikan kebebasan berekspresi wanita, dan dengan berjilbab ria
wanita tidak bisa menampilkan kecantikannya yang merupakan anugrah dari yang
kuasa.
Dengan berjilbab, wanita tidak dapat masuk ke berbagai
tempat ataupun lahan kerja dimana dia bisa exist
di dalamnya. Dan masih banyak lagi seribu macam alasan yang memojokkan kain
penutup mahkota ini.
Oleh karena itu, dengan dalih untuk menghilangkan itu
semua serta jilbab bisa lebih mudah diterima oleh setiap kalangan dan berbagai
lapisan, ada sebagian pihak yang berupaya memaksakan jilbab dengan dunia feysen
ala Barat. Sehingga tampak lebih serasi, anggun dan modis menurut kacamata feysen
dan syahwat.
Jilbab seperti ini yang sekarang lebih dikenal luas
dengan istilah JILBAB GAUL. Dan banyak peminatnya dan sangat digandrungi oleh
remaja yang memang tidak terlepas dengan dunia three F (fun, food, dan fashion).
Pemerkosaan Jilbab seperti ini akhirnya mengeluarkan makna dan hakikat jilbab
itu sendiri dari nilai-nilai keislaman.
Lucu bila kita dapati seorang wanita dengan jilbab yang
menutupi kepalanya kemudian kedua ujungnya dililitkaan ke lehernya yang
membentuk jenjang leher sang wanita sehingga masih tampak (maaf) dada atasnya
yang terbuka. Kemudian dia padukan dengan kaos lengan panjang dan celana jeans yang ketat memperlihatkan
lekuk tubuhnya. Semua itu ia lakukan agar tampak serasi dan modis dapat
diterima semua lapisan serta masih dikatakan Islami (menurut pandangan
penganutnya).
Belum menambahkan warna-warna mencolok yang menarik
perhatian dan pernak-pernik perhiasan. Bahkan belum lama ini di salah satu kota
besar Jawa Barat digelar feysen show yang menampilkan berbagai rancangan dari
busana muslimah yang dipadukan dengan trend berbusana pada masyarakat luas
dengan konsep imaginary.
Semua hanya sebuah keserasian yang hanya diukur melalui
keindahan dan kecantikan syahwati dan kenikmatan duniawi, bukan keserasian yang
bertitik tolak dari penilaian imani.
Jilbab atau kerudung bukanlah bukan hanya sebagai kain
penutup bagi tubuh-tubuh wanita yang begitu istimewa. Jilbab bukanlah hanya
produk fesyen yang bisa dipertontonkan
dan didisain semau gua.
Namun, lebih jauh dari itu jilbab merupakan perintah
langsung dari Rabb ‘Azza wa Jalla bagi hamba-hambanya yang beriman. Jilbab
adalah perintah syar’I bagi hamba Allah yang begitu istimewa bernama Wanita.
Begitu istimewanya wanita hingga ibarat perhiasan yang harus dijaga dan tidak
sembarangan orang yang boleh melihat serta menyentuhnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada kaum
wanita untuk memakai kerudung atau jilbab dengan kriteria yang telah ditentukan,
bukan asal pakai menurut selera fesyen atau trend busana.
Jilbab yang menjadi tuntutan syar’I adalah jilbab yang
panjang lebar menutup kepala, muka serta dada. Bukan jilbab pendek serta
membentuk raut wajah bahkan melilit leher. Jilbab yang disukai syar’I adalah
jilbab yang berwarna gelap bukan jilbab yang bercorak hingga dapat mengundang
perhatian. Jilbab yang diperintahkan adalah jilbab yang menutup tubuh bukan
malah yang membentuk tubuh hingga auratnya terlihat.
Lantas pertnyaannya adalah
apakah dapat dikatakan serasi dan islami bagi saudari-saudari kita yang menjadi
kormod (Korban Mode) dunia fesyen?
Satu hal yang perlu diingat
adalah kecantikan seorang wanita bukan hanya diukur dengan penampilan dan gaya
dia berbusana. Kecantikan wanita akan lebih berharga bila diukur degan ketaatan
dia kepada Rabb-nya.
Jangan tertipu dengan bisikan
Iblis Laknatullah serta dorongan hawa nafsu yang menipu.
Cukuplah kecantikan tersebut kita
berikan kepada orang yang memang telah Allah halalkan untuk kita. Bukan
diperuntukan bagi orang-orang yang kita sendiri tidak tahu akan kebaikan hati
dan agamanya.
Dan janganlah pernah merasa
ragu untuk menjalankan perintah Allah. Jangan pernah merasa takut serta
menyesal ketika melaksanakan perintah-Nya. Sebab bila seorang wanita mengenakan
jilbab seperti yang diperintahkan-Nya, bukan hanya kecantikan yang ia peroleh,
Ridha Allah pun akan ia dapatka. Dalam manusia ia terjaga, sedang dalam
pandangan Rabb-Nya ia begitu mulia.
Keserasian yang demikian
adalah keserasian yang terlihat dalam pandangan realita dan keimanan.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Salam pernah mengabarkan bahwa salah satu sifat penghuni neraka
adalah para wanita yang berjalan dengan berlenggak lenggok seperti punuk unta.
Mereka mengenakan pakaian namun pada kenyataannya mereka telanjang. Akankah
keserasian yang kita dambakan menjerumus kita ke dalam neraka? Wal’iyadzubillah
Saudariku…, tidak hina untuk
mengenakan jilbab. Tidak sulit untuk memakainya. Engkau akan mulia dengannya,
bahkan begitu mulianya engkau sampai-sampai Allah mengumandangkan perang bagi
yang menghinakannya.
Hanyas saja, mungkin iman ini
masih lemah dan hati ini masih keras hingga kita masih saja mempersalahkan
permata yang begitu berharga?... (Fachri)
*Dikutip
dari majalah “Mu’minah” edisi 2/tahun 1/april 2006/hal33-35.